Definisi mazhab adalah apa-apa yang dipilih oleh Imam As Syafi’i dan para pengikutnya terhadap hukum dalam berbagai masalah, sebagaimana disebutkan Imam Al Mahalli dalam Syarh beliau terhadap Al Minhaj. (lihat, Hasyiyatani Qalyubi wa Umairah, 1/7)
Dengan definisi di atas, secara automatik mazhab As Syafi’i tidak hanya mencakup pendapat Imam As Syafi’i sahaja, namun juga, pendapat para pengikutnya. Persoalan sekarang, siapa para pengikut yang berhak memberi sumbangan kepada mazhab? Pendapatnya diperhitungkan sebagai pendapat mazhab? Tentu, itu dapat dijawab dengan pemaparan tingkatan para mufti yang dianggap mu’tabar dalam mazhab.
Imam An Nawawi menyatakan dalam Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab (1/71), mengenai tingkatan mufti dalam mazhab As Syafi’i. Merujuk kepada pendapat Al Hafidz Ibnu Shalah, beliau membahagi mufti dalam mazhab menjadi beberapa kelompok:
1. Mufti Mustaqil
Mufti mustaqil adalah mufti yang berada dalam peringkat tertinggi dalam mazhab, Ibnu Shalah juga menyebutkannya sebagai mujtahid mutlaq. Ertinya, tidak terikat dengan mazhab. Bahkan mujtahid inilah perintis mazhab. Tentu dalam Mazhab As Syafi’i, mufti mustaqil adalah Al Imam As Syafi’i Rhm. Imam An Nawawi sendiri menyebutkan pendapat beberapa ulama ushul bahwa tidak ada mujtahid mustaqil setelah masa As Syafi’i. (lihat, Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 1/72)
Keistimewaan mufti mustaqil yang tidak dimiliki oleh tingkatan mufti di bawahnya adalah kemampuannya menciptakan metode(susunan kaedah pengambilan hukum*) yang dianut mazhabnya.
2. Mujtahid Mazhab
Yakni, mufti yang tidak taklid kepada imamnya, baik dalam mazhab (pendapat) atau dalilnya namun tetap menisbatkan kepada imam karena mengikuti metode imam. ( lihat, Al Majmu’ Syarh Al Muhadzadzab, 1/72)
Contoh ulama Syafi’iyah yang sampai pada derajat ini adalah Imam Al Muzani dan Al Buwaithi, sebagaimana disebutkan Nawawi Al Bantani dan Syeikh Ba’alawi (lihat, Nihayah Az Zain, hal. 7 dan Bughyah Al Mustarsyidin, hal. 7)
Sedangkan Imam An Nawawi juga menyebutkan bahwa Abu Ishaq As Syairazi yang masa hidupnya jauh dari masa Imam As Syafi’i mengaku sampai pada derajat ini. ( lihat, Al Majmu’ Syarh Al Muhadzadzab, 1/72)
Di kalangan muta’akhirin Imam As Suyuthi juga mengaku sampai pada derajat ini, sebagaimana disebutkan Syeikh Ba’alawi. (lihat, Bughyah Al Mustarsyidin, hal. 7)
Mufti golongan inilah yang relevan bagi mereka perkataan Imam As Syafi’i (idza shahah al hadits fahuwa madzhabi*) yang melarang taklid , baik kepada beliau mahupun kepada para imam lainnya, sebagaimana disebutkan Imam An Nawawi (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/73).
Dan hal itu tidak berlaku kepada ulama yang berada di bawah paras ini, sebab itulah Ibnu Shalah sendiri berpendapat bahwa pelarangan taklid dari para imam tidak bersifat mutlak. (lihat, Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 1/72).
Golongan ini pula yang menurut Ibnu Shalah dan Imam An Nawawi yang berhak memperbetulkan pendapat Imam, di saat mereka mengetahui ada hadits shahih yang bertantangan dengan pendapat imam. Kenapa harus mereka? Karena boleh terjadi, imam sengaja meninggalkan hadits walau ia shahih disebabkan manshukh atau ditakhsis, dan hal ini tidak akan diketahui kecuali "tuan diri yang bersangkutan*" telah menela’ah semua karya As Syafi’i dan para pengikutnya, dan hal ini amatlah sulit, menurut penilaian ulama sekaliber Imam An Nawawi sekalipun. (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/99 dan Ma’na Al Qaul Al Imam Al Muthallibi Idza Shahah Al Hadits fa Huwa Madzhabi)
Jika seseorang sampai pada darjat ini, ia boleh menyelisihi pendapat imamnya sendiri, dan hal ini tidaklah jadi persoalan, karena sudah sampai pada derajat mujtahid walau tetap memakai kaedah imam. Tak hairan jika beberapa pendapat Imam Al Muzani berbeda dengan pendapat Imam As Syafi’i seperti dalam masalah masa nifas, Imam As Syafi’i berpendapat bahwa maksimal masa nifas 60 hari sedangkan Al Muzani 40 hari. (lihat, Thabaqat As Syafi’iyah Al Kubra, 2/106)
3. Ashab Al Wujuh
Ashab Al Wujuh, yakni mereka yang taklid kepada imam dalam masalah syara’, baik dalam dalil maupun ushul Imam. Namun, mereka masih memiliki kemampuan untuk menentukan hukum yang belum disebutkan imam dengan menyimpulkan dan mengkiaskan (takhrij) dari pendapat Imam, sebagaimana para mujtahid menentukannya dengan dalil. Biasanya mereka mencukupkan diri dengan dalil imam. (lihat Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/73)
Imam An Nawawi menyebutkan bahwa para ulama As Syafi’iyah yang sampai pada darjat ini adalah ashab al wujuh. Yakni mereka yang mengkiyaskan masalah yang belum di-nash oleh imam kepada pendapat imam. Sehingga, orang yang merujuk fatwa mereka pada hakikatnya tidak bertaklid kepada mereka, namun bertaklid kepada imam. (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/73)
Contoh dari para ulama yang mencapai darjat ini adalah Imam Al Qaffal dan Imam Abu Hamid atau Ahmad bin Bisyr bin Amir, Mufti Syafi’iyyah di Bashrah, sebagaimana disebutkan Syeikh Muhammad bin Sulaiman Al Qurdi (lihat, Mukhtashar Al Fawaid Al Makiyyah, hal.53).
4. Mujtahid Fatwa
Golongan ini termasuk para ulama yang tidak sampai pada derajat ashab al wujuh, namun menguasai mazhab imam dan dalilnya serta melakukan tarjih terhadap pendapat-pendapat dalam mazhab. (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/73)
Perlu diketahui, dengan adanya mufti-mufti yang berada di atas tingkatan ini, dalam mazhab sudah banyak terjadi khilaf, baik antara imam dengan mujtahid mazhab juga disebabkan perbedaan kesimpulan para ashab al wujuh terhadap pendapat imam. Disinilah ulama pada tingkatan ini berperanan untuk mentarjih.
Nawawi Al Bantani dan Syeikh Ba’alawi menyebutkan bahwa yang berada dalam tingkatan ini Imam Ar Rafi’i dan Imam An Nawawi yang dikenal sebagai mujtahid fatwa.(lihat, An Nihayah, hal. 7 dan Al Bughyah, hal. 7)
Hal ini nampak dalam corak karya Ar Rafi’i seperti Al Aziz fi Syarh Al Wajiz, juga karya Imam An Nawawi seperti Raudhah At Thalibin dan Minhaj At Thalibin. Sehingga bagi para penuntut ilmu jika ingin mengetahui perkara yang rajih dalam mazhab boleh merujuk kepada buku-buku tersebut.
5. Mufti Muqallid
5. Mufti Muqallid
Tingkatan mufti dalam mazhab yang paling akhir adalah mereka yang menguasai mazhab baik dalam masalah yang sederhana mahupun yang rumit. Namun tidak memiliki kemampuan seperti mufti-mufti di atasnya. Maka fatwa mufti yang demikian boleh dijadikan sandaran penukilannya tentang mazhab dari pendapat imam dan cabang-cabangnya yang berasal dari para mujtahid mazhab. (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/74)
Ibnu Hajar Al Haitami, Imam Ar Ramli dan As Subramilsi termasuk kelompok mufti Muqallid, walau sebagian berpendapat bahwa mereka juga melakukan tarjih dalam beberapa masalah. (lihat, Nihayah Az Zain, hal. 7 dan Bughyah Al Mustarsyidin, hal 7)
Jika tidak menemui nukilan dalam mazhab, maka ia tidak boleh mengeluarkan fatwa, kecuali jika mereka memandang bahwa masalahnya sama dengan apa yang nash mazhab, boleh ia mengkiyaskannya. Namun, menurut Imam Al Haramain, kes/keadaan* demikian jarang ditemui. (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/73).
Namun tentunya tidak boleh berfatwa dengan semua pendapat tanpa melihat mana yang rajih(asoh/kuat*) menurut mazhab. Syeikh Ba’ alawi menilai orang yang demikian sebagai orang yang bodoh dan menyelisihi ijma'. (lihat, Bughyah Al Mustarsyidin, hal. 9)
Jika demikian, para mufti yang berada di jajaran ini akan banyak berinteraksi dengan karya-karya para mujtahid fatwa, yang telah menjelaskan pendapat rajih dalam mazhab.
Penutup
Imam An Nawawi menyebutkan bahwa para mufti selain mufti mustaqil, yang telah disebutkan di atas termasuk mufti muntasib, dalam eri tetap menisbahkan* diri dalam mazhab. Dan semuanya harus menguasai apa yang dikuasai oleh mufti muqallid. Barang siapa berfatwa sedangkan belum memenuhi syarat di atas, maka ia telah menjerumuskan diri kepada hal yang amat besar! (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/74)
Tentu, amat tidak mudah untuk masuk jajaran mufti di atas hatta mufti muqallid jika orang sekaliber Ibnu Hajar Al Haitami dan Imam Ar Ramli masih dinilai berada dalam tingkatan itu! Namun ironisnya banyak anak-anak muda yang baru mencari ilmu dengan tanpa beban menyesat-nyesatkan siapa saja yang bertaklid. Kemudian menyerukan untuk mentarjih pendapat sesuai berdasarkan dalil yang ia pahami seakan-akan ia setingkat dengan Imam An Nawawi, atau bahkan menggugurkan pendapat mujtahid mustaqil dengan berargumen, idza shahah al hadits fahuwa mazhabi, seakan-akan ia satu level dengan Imam Al Muzani! Padahal yang bersangkutan belum mengkhatamkan dan menguasai kitab fiqih yang paling sederhana sekalipun dalam mazhab.
Mudah-mudahan kita terlindung dari hal-hal yang demikian. Dan tetap bersabar untuk terus mencari ilmu, hingga sampai kepada kita keputusan Allah, sampai dimana ilmu yang mampu kita serap dan kita amalkan.
Rujukan:
1. Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, Imam An Nawawi, Dar Al Fikr, th. 1425-1426 H, t. Dr. Mahmud Mathraji.
2. Thabaqat As Syafi’iyah Al Kubra, Tajuddin As Subki, Hijr, cet. 2, th. 1413 H, t. Dr. Abdul Fattah Muhammad Al Hulwu, Dr. Muhamud Muhammad At Thanahi.
3. Nihayah Az Zain fi Iryadi Al Mubtadi’in, Nawawi Al Bantani, Al Haramain, cet. 1,th. 1426 H.
4. Bughyah Al Mustaryidin, Ba’alawi, Nur Al Huda.
5. Mukhtashar Al Fawaid Al Makiyyah, Al Allamah Syeikh Alawi bin Ahmad As Saqqaf, Dar Al Basyair Al Islamiyah, cet. 1, th. 1425 H.
6. Ma’na Al Qaul Al Imam Al Muthallibi Idza Shahah Al Hadits fa Huwa Madzhabi, Taqiyuddin As Subki dalam Majmu’ah Ar Rasail Al Muniriyah, Idarah At Thiba’ah Al Muniriyah, cet. 2, th 1343 H.
7. Syarh Al Mahalli Ala Al Minhaj dalam Hasyiyatani Qalyubi wa Umairah, Al Mahalli, Dar Al Fikr, cet. 1, th. 1419 H.
Al Faqir:
Betapa halus dan ketatnya para Imam menyusun metode Mazhab mereka dan menurunkan kerangka dan sendi2 yang wajib dikuasai oleh Pengikutnya yang mengikuti jalan mereka sebagai 'Pewaris Nabi'. Inilah yang disebut dahan yang kuat, kukuh, selamat dan aman untuk berpaut. Untuk pedoman diri dan kepada pentajdid @ kaum muda khususnya, pepatah masyhur orang melayu, ukur baju badan sendiri. Nilailah setiap nasihat agama kita, jangan hanya tenggelam dalam bekas bejana beberapa pendapat muta'akhirin 'laa mazhabi' sedangkan LAUTAN Qaul Muslimin masih belum disentuhi dan dibasahi.
Sumber dari almanar. Diterjemah sebahagian perkataan kepada perkataan bahasa melayu yang hampir kepada maksud untuk kefahaman warga Malaysia dengan tanda asterik(*).